Kamis, 26 Januari 2012

HUKUM SNELLIUS


Hukum Snellius

Description: http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Pembiasan cahaya pada antarmuka antara dua medium dengan indeks bias berbeda, dengan n2 > n1. Karena kecepatan cahaya lebih rendah di medium kedua (v2 < v1), sudut bias θ2 lebih kecil dari sudut datang θ1; dengan kata lain, berkas di medium berindeks lebih tinggi lebih dekat ke garis normal.
Hukum Snellius adalah rumus matematika yang meberikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda, seperti udara dan gelas. Nama hukum ini diambil dari matematikawan Belanda Willebrord Snellius, yang merupakan salah satu penemunya. Hukum ini juga dikenal sebagai Hukum Descartes atau Hukum Pembiasan.
Hukum ini menyebutkan bahwa nisbah sinus sudut datang dan sudut bias adalah konstan, yang tergantung pada medium. Perumusan lain yang ekivalen adalah nisbah sudut datang dan sudut bias sama dengan nisbah kecepatan cahaya pada kedua medium, yang sama dengan kebalikan nisbah indeks bias.
Perumusan matematis hukum Snellius adalah


Lambang θ12 merujuk pada sudut datang dan sudut bias, v1 dan v2 pada kecepatan cahaya sinar datang dan sinar bias. Lambang n1 merujuk pada indeks bias medium yang dilalui sinar datang, sedangkan n2 adalah indeks bias medium yang dilalui sinar bias.
Hukum Snellius dapat digunakan untuk menghitung sudut datang atau sudut bias, dan dalam eksperimen untuk menghitung indeks bias suatu bahan.
Pada tahun 1637, René Descartes secara terpisah menggunakan argumen heuristik kekekalan momentum dalam bentuk sinus dalam tulisannya Discourse on Method untuk menjelaskan hukum ini. Cahaya dikatakan mempunyai kecepatan yang lebih tinggi pada medium yang lebih padat karena cahaya adalah gelombang yang timbul akibat terusiknya plenum, substansi kontinu yang membentuk alam semesta. Dalam bahasa Perancis, hukum Snellius disebut la loi de Descartes atau loi de Snell-Descartes.
Sebelumnya, antara tahun 100 hingga 170 Ptolemeus dari Thebaid menemukan hubungan empiris sudut bias yang hanya akurat pada sudut kecil.[1] Konsep hukum Snellius pertama kali dijelaskan secara matematis dengan akurat pada tahun 984 oleh Ibn Sahl dari Baghdad dalam manuskripnya On Burning Mirrors and Lenses[2][3]. Dengan konsep tersebut Ibn Sahl mampu membuat lensa yang dapat memfokuskan cahaya tanpa aberasi geometri yang dikenal sebagai kanta asperik. Manuskrip Ibn Sahl ditemukan oleh Thomas Harriot pada tahun 1602, [4] tetapi tidak dipublikasikan walaupun ia bekerja dengan Johannes Keppler pada bidang ini.
Pada tahun 1678, dalam Traité de la Lumiere, Christiaan Huygens menjelaskan hukum Snellius dari penurunan prinsip Huygens tentang sifat cahaya sebagai gelombang. Hukum Snellius dikatakan, berlaku hanya pada medium isotropik atau "teratur" pada kondisi cahaya monokromatik yang hanya mempunyai frekuensi tunggal, sehingga bersifat reversibel.[5] Hukum Snellius dijabarkan kembali dalam rasio sebagai berikut:



CAHAYA


Cahaya

Gelombang elektromagnetik dapat digambarkan sebagai dua buah gelombang yang merambat secara transversal pada dua buah bidang tegak lurus yaitu medan magnetik dan medan listrik. Merambatnya gelombang magnet akan mendorong gelombang listrik, dan sebaliknya, saat merambat, gelombang listrik akan mendorong gelombang magnet. Diagram di atas menunjukkan gelombang cahaya yang merambat dari kiri ke kanan dengan medan listrik pada bidang vertikal dan medan magnet pada bidang horizontal.
Description: http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elekromagnetik yang kasat mata dengan panjang gelombang sekitar 380–750 nm.[1] Pada bidang fisika, cahaya adalah radiasi elektromagnetik, baik dengan panjang gelombang kasat mata maupun yang tidak. [2][3]
Cahaya adalah paket partikel yang disebut foton.
Kedua definisi di atas adalah sifat yang ditunjukkan cahaya secara bersamaan sehingga disebut "dualisme gelombang-partikel". Paket cahaya yang disebut spektrum kemudian dipersepsikan secara visual oleh indera penglihatan sebagai warna. Bidang studi cahaya dikenal dengan sebutan optika, merupakan area riset yang penting pada fisika modern.
Studi mengenai cahaya dimulai dengan munculnya era optika klasik yang mempelajari besaran optik seperti: intensitas, frekuensi atau panjang gelombang, polarisasi dan fase cahaya. Sifat-sifat cahaya dan interaksinya terhadap sekitar dilakukan dengan pendekatan paraksial geometris seperti refleksi dan refraksi, dan pendekatan sifat optik fisisnya yaitu: interferensi, difraksi, dispersi, polarisasi. Masing-masing studi optika klasik ini disebut dengan optika geometris (en:geometrical optics) dan optika fisis (en:physical optics).
Pada puncak optika klasik, cahaya didefinisikan sebagai gelombang elektromagnetik dan memicu serangkaian penemuan dan pemikiran, sejak tahun 1838 oleh Michael Faraday dengan penemuan sinar katode, tahun 1859 dengan teori radiasi massa hitam oleh Gustav Kirchhoff, tahun 1877 Ludwig Boltzmann mengatakan bahwa status energi sistem fisik dapat menjadi diskrit, teori kuantum sebagai model dari teori radiasi massa hitam oleh Max Planck pada tahun 1899 dengan hipotesa bahwa energi yang teradiasi dan terserap dapat terbagi menjadi jumlahan diskrit yang disebut elemen energi, E. Pada tahun 1905, Albert Einstein membuat percobaan efek fotoelektrik, cahaya yang menyinari atom mengeksitasi elektron untuk melejit keluar dari orbitnya. Pada pada tahun 1924 percobaan oleh Louis de Broglie menunjukkan elektron mempunyai sifat dualitas partikel-gelombang, hingga tercetus teori dualitas partikel-gelombang. Albert Einstein kemudian pada tahun 1926 membuat postulat berdasarkan efek fotolistrik, bahwa cahaya tersusun dari kuanta yang disebut foton yang mempunyai sifat dualitas yang sama. Karya Albert Einstein dan Max Planck mendapatkan penghargaan Nobel masing-masing pada tahun 1921 dan 1918 dan menjadi dasar teori kuantum mekanik yang dikembangkan oleh banyak ilmuwan, termasuk Werner Heisenberg, Niels Bohr, Erwin Schrödinger, Max Born, John von Neumann, Paul Dirac, Wolfgang Pauli, David Hilbert, Roy J. Glauber dan lain-lain.
Era ini kemudian disebut era optika modern dan cahaya didefinisikan sebagai dualisme gelombang transversal elektromagnetik dan aliran partikel yang disebut foton. Pengembangan lebih lanjut terjadi pada tahun 1953 dengan ditemukannya sinar maser, dan sinar laser pada tahun 1960.
Era optika modern tidak serta merta mengakhiri era optika klasik, tetapi memperkenalkan sifat-sifat cahaya yang lain yaitu difusi dan hamburan.